JAKARTANEWS.CO – Industri asuransi global diguncang hebat sepanjang 2024 akibat cuaca ekstrem yang makin tak terkendali.
Laporan terbaru WTW mengungkapkan bahwa total kerugian ekonomi akibat bencana cuaca
mencapai lebih dari US$20 miliar atau sekira Rp328 triliun, namun hanya US$2 hingga $3 miliar yang mampu diklaim melalui asuransi, angka yang sangat kecil dibandingkan dampak
sesungguhnya.
Mengutip Insurance Asia, Kamis, 15 Mei 2025, musim topan 2024 di kawasan Pasifik Utara
mencatatkan 23 badai tropis, dengan 15 meningkat menjadi topan dan 9 di antaranya
berintensitas tinggi. Meski jumlah tersebut sedikit lebih rendah dari rerata tahunan, kerusakan
fisik dan ekonomi jauh lebih besar akibat intensitas dan lokasi pendaratan badai.
Salah satu kasus paling mencolok adalah Topan Yagi, yang memporakporandakan wilayah
Asia Tenggara, menyebabkan 1.200 korban jiwa dan mencatatkan kerugian ekonomi hingga
US$15 miliar. Ironisnya, hanya sekitar US$1 miliar dari angka itu yang dijamin oleh polis
Asuransi, mencerminkan jurang besar dalam perlindungan asuransi di Asia.
Wilayah China Selatan dan Vietnam menjadi sorotan karena rendahnya penetrasi asuransi,
padahal Topan Yagi melaju dengan kecepatan hingga 160 mph, menjadikannya salah satu
badai terkuat yang pernah menghantam Vietnam dan Hainan.
Di Jepang, Topan Shanshan turut menciptakan kehancuran dengan intensitas tinggi, namun
nilai klaim asuransi tetap rendah, hanya di bawah US$1 miliar, karena wilayah terdampak
tidak memiliki eksposur perlindungan yang memadai.
Sementara itu, Filipina mengalami serangan beruntun dari enam badai dalam kurun 30 hari,
mempengaruhi lebih dari 13 juta penduduk dan menyebabkan kerugian senilai US$500 juta.
Lagi-lagi, minimnya kepemilikan asuransi membuat masyarakat tidak mendapatkan
perlindungan finansial yang memadai.
Kondisi ini menegaskan bahwa gap perlindungan asuransi di Asia semakin lebar, padahal
ancaman cuaca ekstrem kian meningkat. Industri asuransi ditantang untuk memperluas
jangkauan, meningkatkan edukasi publik, dan mendorong pemerintah serta sektor swasta
memperkuat ketahanan keuangan menghadapi krisis iklim.
Indonesia Juga Tertekan
Seperti diketahui, kondisi global juga terjadi di Indonesia. Tekanan yang cukup berat itu dialami
oleh industri asuransi umum pada 2024. Akibatnya, laba setelah pajak Perusahaan asuransi
umum anjlok drastis.
Menurut Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laba setelah pajak industri asuransi
umum pada 2023 masih mencapai Rp7,80 triliun, namun pada 2024 turun drastis menjadi rugi
Rp10,14 triliun, atau merosot hingga 197,8 persen.
Ketua Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan, menyoroti bahwa penurunan
laba ini sangat dipengaruhi oleh hasil underwriting yang melemah serta peningkatan cadangan
premi dan cadangan klaim.
“Tentunya laba ini terpengaruh dari perhitungan hasil underwriting. Seperti kita ketahui,
komponen laba dari perusahaan asuransi berasal dari hasil underwriting dan hasil investasi,”
ujar Budi dalam Konferensi Pers Kinerja AAUI di Jakarta, Rabu 5 Maret 2025.
Tercatat hasil underwriting industri asuransi umum mengalami penurunan tajam. Pada 2023,
hasil underwriting masih mencatatkan Rp19,46 triliun, tetapi di 2024 terjun bebas menjadi defisit Rp1,52 triliun, atau merosot 102,7 persen.
Selain itu, kenaikan cadangan premi dan cadangan klaim juga memperburuk tekanan terhadap
profitabilitas perusahaan asuransi umum. Menurut dia, apa yang terjadi dalam kenaikan
cadangan premi maupun kenaikan cadangan klaim akan berkontribusi terhadap laba.
Data OJK menunjukkan, cadangan premi yang pada 2023 sebesar Rp3,44 triliun, justru
meningkat drastis di 2024 menjadi Rp22,27 triliun, atau melonjak 546,5 persen.
Sementara itu, cadangan klaim juga meningkat dari Rp1,25 triliun pada 2023 menjadi Rp5,08
triliun pada 2024, atau naik 306,3 persen.