Warga Vila Kelapa Dua Tuntut Kejelasan Ganti Rugi Lahan Dampak Normalisasi Kali Pesanggrahan

Jakarta — Kasus sengketa lahan kembali mencuat di tengah proyek strategis Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kali ini, Lukman Astanto, warga Perumahan Vila Kelapa Dua, Jakarta Barat, melalui kuasa hukumnya dari kantor hukum HAS & Rekan, menyuarakan tuntutan ganti rugi atas lahan miliknya yang terdampak normalisasi Kali Pesanggrahan sejak tahun 2017.

Dijelaskan tim kuasa hukum yang terdiri dari Hendrik A. Sinaga, S.H., M.H. dan Juan Sahata, S.H., memaparkan bahwa klien mereka merupakan pemilik sah dua bidang tanah berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No. 1078 seluas 3.634 m² dan SHGB No. 1068 seluas 1.599 m², yang berlokasi di Jalan Raya Pos Pengumben, Kelurahan Kelapa Dua, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Sejak proyek normalisasi berlangsung, kedua bidang tanah tersebut telah berubah fungsi menjadi jalan inspeksi dan badan aliran sungai. Berdasarkan pengukuran resmi dari Kantor Pertanahan Jakarta Barat pada 23 November 2023, total luas tanah yang hilang secara fisik mencapai 5.233 m². Namun hingga kini, klien mereka belum menerima kompensasi atas pengambilalihan tersebut.

“Sudah sejak era Gubernur Ahok, hingga kini Pramono Anung, kami telah mengirim puluhan surat permohonan, tapi belum ada respons resmi yang diterima,” tegas Hendrik Sinaga di Jakarta, Selasa (1/7/2025).

Tim kuasa hukum menekankan bahwa proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang No. 2 Tahun 2012, Perpres No. 71 Tahun 2012 jo. Perpres 102 Tahun 2016, PP No. 19 Tahun 2021, serta Permen ATR/BPN No. 19 Tahun 2021.

Bahkan menurut mereka, penggunaan tanah sebelum pembayaran ganti rugi merupakan bentuk pelanggaran hukum administratif sebagaimana tercantum dalam UU No. 30 Tahun 2014 dan UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman, yang dapat dikategorikan sebagai maladministrasi.

“Pemerintah harus bertanggung jawab. Kami mendukung normalisasi sungai demi kepentingan publik dan pengendalian banjir, tapi hak atas tanah klien kami juga harus dihormati. Sudah terlalu lama menunggu tanpa kejelasan,” ujar Juan Sahata.

Pihak kuasa hukum menyampaikan tiga tuntutan utama:

Pertama, penetapan nilai ganti rugi lahan secara adil melalui appraisal independen.

Kedua, pembayaran ganti rugi yang segera dan transparan.

Ketiga, komitmen Pemprov DKI Jakarta untuk menegakkan asas keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh warga.

Selain itu pihaknya juga meminta perhatian dari Pemprov DKI, DPRD, Ombudsman, serta media massa untuk mengawal penyelesaian kasus ini secara terbuka dan adil. Mereka berharap persoalan ini bisa diselesaikan lewat dialog, tanpa harus menempuh jalur hukum.

“Kami percaya pembangunan infrastruktur bisa berjalan seiring dengan penghormatan terhadap hak warga. Mari kita selesaikan ini dengan prinsip musyawarah dan transparansi,” tutup Hendrik Sinaga.

Proyek normalisasi Kali Pesanggrahan merupakan bagian dari upaya pemerintah mengatasi banjir di wilayah Jakarta Barat. Namun, kasus ini kembali mengingatkan pentingnya prinsip keadilan dan hak warga dalam setiap pelaksanaan pembangunan.