Wildhan Fathurrahman Desak Kontrak Baru TPST Bantargebang

Sudah lebih dari 30 tahun, Kota Bekasi menjadi “penyangga kebersihan” Ibu Kota Jakarta. Setiap hari, sekitar 7.500 ton sampah dari DKI Jakarta diangkut ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang yang berdiri di atas lahan seluas 110,3 hektare. Gunungan sampah yang sudah mencapai lebih dari 300 juta meter kubik—setinggi gedung 16 lantai—menjadi potret ketergantungan ibu kota pada kota tetangganya.

Namun, di balik fungsi vital tersebut, masyarakat Bantargebang harus menanggung konsekuensi paling berat: udara tak sehat, ancaman pencemaran air tanah, hingga stigma sosial sebagai “kampung sampah”. Situasi ini menjadi sorotan menjelang perpanjangan kontrak kerja sama pengelolaan sampah antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi.

Kontrak Bukan Sekadar Administrasi

Anggota DPRD Kota Bekasi dari Fraksi PKB, Wildhan Fathurrahman, menegaskan bahwa perpanjangan kontrak tidak boleh diperlakukan sebagai formalitas administratif. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kerja sama antar daerah wajib memenuhi prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.

“Kontrak baru harus berbentuk dokumen hukum yang kuat dan mengikat. DPRD wajib dilibatkan resmi dalam perundingan agar ada pengawasan. Tanpa itu, kontrak berisiko timpang dan justru merugikan masyarakat Bekasi,” ujarnya.

Ancaman Ekologi: Dari Gas Metana hingga Lindi

Volume sampah yang masuk setiap hari, jika ditumpuk, setara tiga kali lipat kapasitas Stadion Gelora Bung Karno. Tanpa penanganan berbasis teknologi ramah lingkungan, risiko ekologis bisa berubah menjadi bencana: kebakaran akibat gas metana, resapan lindi ke air tanah, serta penurunan drastis kualitas udara yang memicu penyakit pernapasan.

Karena itu, Wildhan menilai kompensasi tidak boleh berhenti pada angka rupiah semata, melainkan harus berupa investasi nyata. “Kita bicara tentang pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) berbasis gas metana, pengendalian bau dengan biofilter, dan reklamasi lahan menjadi ruang terbuka hijau. Ini soal keberlanjutan, bukan hanya soal biaya angkut sampah,” katanya.

Dampak Sosial: Warga Jangan Jadi Korban

Selain ancaman ekologis, warga Bantargebang menghadapi problem sosial kronis. Kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), penyakit kulit, hingga gizi buruk tercatat lebih tinggi dibanding rata-rata Kota Bekasi. Anak-anak juga kerap menghadapi diskriminasi karena identitas wilayah tempat tinggal.

Wildhan menekankan bahwa kompensasi harus menyentuh langsung masyarakat. Ia mengusulkan pembangunan rumah sakit tipe D di Bantargebang, pemberian beasiswa penuh hingga perguruan tinggi bagi anak-anak warga ring 1, serta pemberdayaan UMKM dan program padat karya.

“Warga Bantargebang bukan hanya korban, mereka harus dilibatkan sebagai bagian dari solusi,” tegasnya.

Uji Keadilan Metropolitan Jabodetabek

Isu Bantargebang, menurut Wildhan, lebih besar daripada sekadar urusan teknis pengangkutan sampah. Ia menyebutnya sebagai “uji keadilan metropolitan”.

“Jakarta tidak bisa bersih tanpa Bekasi. Tetapi Bekasi tidak boleh diperlakukan hanya sebagai tempat buangan. Bekasi harus diposisikan sebagai mitra strategis, bukan subordinat,” ujarnya.

Kontrak baru, kata dia, harus menetapkan kompensasi minimal Rp100 ribu per ton sampah atau setara Rp270 miliar per tahun. Lebih dari itu, program lintas sektor di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan wajib dipastikan hadir dan dirasakan langsung oleh warga. Evaluasi tahunan bersama DPRD, Pemkot, dan perwakilan masyarakat juga menjadi prasyarat.

Rekomendasi Strategis

Untuk memperkuat posisi tawar, Wildhan merekomendasikan langkah konkret: membentuk tim negosiasi khusus yang melibatkan akademisi dan perwakilan masyarakat; melakukan audit lingkungan independen; menerapkan model kompensasi hybrid berupa uang dan program nyata; serta mengatur pemanfaatan kompensasi melalui peraturan daerah.

“Bekasi tidak sedang menolak kerja sama. Bekasi memperjuangkan hak warganya atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin konstitusi,” tandasnya.

Pahlawan Lingkungan

Wildhan menutup pernyataannya dengan menegaskan peran krusial masyarakat Bantargebang. “Warga Bantargebang adalah pahlawan lingkungan yang telah menjaga Jakarta tetap bersih. Kini saatnya mereka dihargai dengan kompensasi yang adil, program yang nyata, dan kebijakan yang berpihak.”

Perpanjangan kontrak TPST Bantargebang, ujarnya, bukan sekadar dokumen administratif. Lebih dari itu, ia adalah momentum menegakkan keadilan hukum, keadilan lingkungan, dan keadilan sosial di kawasan metropolitan terbesar Indonesia. (adv)