Jakartanews.co – Dalam rangka Indonesia International Book Fair (IIBF) 2025, buku Quo Vadis Bea Cukai Indonesia: Menegakkan Kedaulatan Bea Cukai Indonesia resmi diluncurkan di Assembly Hall, Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (25/9/2025).
Buku yang ditulis oleh Soehardjo, Darajadi, Wirawan, Sutardi, dan Mahpudi ini mengangkat perjalanan panjang lahirnya UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Kedua UU tersebut menjadi tonggak penting kembalinya kedaulatan Be Cukai setelah sebelumnya kewenangan verifikasi ekspor-impor sempat dicabut dan dialihkan kepada SGS (Société Générale de Surveillance) akibat berbagai penyimpangan praktek dan korupsi di masa lalu.
Dalam peluncuran buku, dijelaskan bahwa sebelum tahun 1995, pemerintah Indonesia masih menggunakan regulasi peninggalan Hindia Belanda, yang memiliki banyak celah dan kelemahan dengan praktek-praktek yang menyimpang dari tugas idealnya.
Kehadiran undang-undang baru tersebut menjadi momentum penting, sekaligus simbol reformasi Bea Cukai yang dipelopori oleh Soehardjo, Direktur Jenderal Bea dan Cukai periode 1991-1998.
“Buku ini tidak dimaksudkan untuk membandingkan masa lalu dan masa kini, melainkan untuk memberikan inspirasi dan mendorong langkah-langkah perbaikan Bea Cukai ke depan,” ujar Soehardjo dalam sambutannya.
Soehardjo pun meyakini ada tradisi kuat yang masih dipegang oleh petugas Bea Cukai dalam kesehariannya menjalankan tugas yang jarang terpublikasi secara luas.
“Dalam sejarah Bea Cukai Indonesia belum pernah ada oknum yang terlibat dalam penyelundupan narkotika. Sejak berdirinya Bea Cukai karena itu tradisi yang kuat di dalam dada para insan Bea Cukai dari sejak berdiri. Dan tugas kita semua untuk selalu mengingatkan tradisi yang membanggakan itu,” kata Darajadi.
Sementara, secara garis besar, penulis Sutardi membedah 4 bab yang ada di dalam buku Quo Vadis Bea Cukai Indonesia: Menegakkan Kedaulatan Bea Cukai Indonesia.
Buku setebal 450 halaman ini, pada bab pertama mengupas sejarah Bea Cukai Indonesia, masa klasik pada zaman kerajaan di Nusantara. Dimana kerajaan juga sudah memungut bea kepada pedagang yang lewat. Termasuk, bagaimana kedatangan VOC dan hak memungut pajak.
Bab kedua, terkait tonggak Bea Cukai Indonesia. Ini berisi tentang pembahasan monumental pada tahun 1985 tentang lahirnya Inpres 4/1985 tentang Bea Cukai.
Adapun, Inpres Nomor 4 Tahun 1985 adalah instruksi Presiden Soeharto untuk memperlancar arus barang ekspor dan impor dengan memangkas kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), sehingga DJBC hanya melakukan pemeriksaan lanjutan jika ada perintah tertulis.
Inpres itu tentu, kata dia, melahirkan pro dan kontra di kalangan Bea Cukai. “Bayangkan keharusan barang impor diserahkan kepada pihak swasta. Teryata pemerintah mengutamakan tujuan dan manfaatnya ketimbang dasar hukumnya,” ujar Sutardi.
Lalu, bab ketiga mengupas soal lahirnya UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan UU No. 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
Terjadi pergantian pucuk pimpinan yang baik. Membawa Bea Cukai lebih baik,” terangnya.
Sedangkan, bab keempat membahas tentang mau kemana Bea Cukai ke depan. Hal ini berkaitan dengan tantangan dan perubahan yang harus dilakukan Bea Cukai.
Sebagai informasi, buku Quo Vadis Bea Cukai Indonesia: Menegakkan Kedaulatan Bea Cukai Indonesia disusun selama 1,5 tahun oleh lima penulis.
Selain pemaparkan sejarah regulasi baru, Qua Vadis Bea Cukai Indonesia juga merangkum pemikiran para tokoh atau pegawai Bea Cukai terdahulu mengenai visi memajukan lembaga ini. Gagasan tersebut sangat relevan dengan kondisi saat ini, serta dapat menjadi masukan penting bagi pemerintah, khususnya Menteri Keuangan.
Peluncuran buku ini turut dihadiri oleh para penulis serta undangan dari kalangan akademisi, praktisi, hingga pemerhati isu ekonomi.